JAKARTA, RIAU24JAM.COM – Ketua Sub Tim I Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) Henri Subiakto mengatakan, pemerintah tidak akan merevisi ketentuan yang selama ini dianggap multitafsir atau pasal karet.
Henri berpandangan, pemerintah tidak bisa merevisi pasal-pasal tersebut. Sebab Mahkamah Konstitusi telah memutuskan sejumlah pasal dalam UU ITE itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Kami tentu saja tidak mungkin merevisi yang sudah diputuskan MK, itu tidak bisa diubah-ubah, karena itu sudah mengikat dan final. Mungkin akan ditambahi penjelas, dilengkapi supaya lebih jelas,” ujar Henri, dikutip dari program Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (23/2/2021).
Ketentuan dalam UU ITE yang dinilai multitafsir dan pernah diuji di MK yakni Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2).
Pasal 27 ayat (3) mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, sedangkan Pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan pada masyarakat berdasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Pengajuan judicial review Pasal 27 ayat (3) pernah dilakukan pada 2009, 2015 dan 2016. Hasilnya, dua permohonan ditolak MK dan satu dicabut oleh pemohon.
Sementara uji materi Pasal 28 ayat (2) dilakukan pada 2017 dan ditolak oleh MK.
“Tentu saja Presiden memperoleh masukan bahwa undang-undang ini sudah berkali-kali di-judicial review di MK. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) sudah empat kali judicial review,” kata Henri.
“MK sudah memutuskan bahwa pasal itu secara normanya benar. Tidak ada konflik dengan Undang-undang Dasar 1945,” tutur dia.
Selain itu, Henri menegaskan bahwa UU ITE tidak mungkin dihilangkan. Menurutnya, saat ini banyak beredar ujaran kebencian dan hoaks yang tersebar di media sosial.
“Ketika sekarang orang mengatakan UU ITE menakutkan dan untuk membungkam, tapi media sosial kita isinya nauzubillah. Ini kan paradoks, sosial media kita isinya penuh hoax dan ujaran kebencian,” ucap Henri.
Hal berbeda diungkapkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Ia menilai revisi UU ITE tetap dapat direvisi oleh pemerintah dan DPR meski pernah diuji di MK.
“DPR dan Presiden berwenang saja untuk mengubah materi muatan pasal tersebut,” kata Yusril kepada Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
Yusril menuturkan, kewenangan DPR bersama pemerintah untuk mengubah UU tidak dapat dicampuri oleh MK.
Oleh sebab itu, pemerintah tak perlu beralasan pasal UU ITE tak bisa direvisi lantaran uji materinya pernah ditolak oleh MK.
“Kewenangan DPR dan Presiden untuk mengubah UU adalah kewenangan yang tidak dapat dicampuri oleh MK,” tutur Yusril.
Pasal multitafsir
Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), setidaknya ada dua pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir, yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2).
Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Frasa “melanggar kesusilaan” dinilai memiliki konteks dan batasan yang tidak jelas.
Terkait Pasal 28 ayat (2), ICJR menilai pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.
Pasal itu memuat larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pada praktiknya, pasal tersebut justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dan penyampaian ekspresi yang sah.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengungkap sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE. salah satunya, Pasal 27 ayat (3).
Pasal ini dinilai dapat mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Selain itu juga mengekang warga untuk mengkritik pemerintah dan aparat penegak hukum.
Sumber : KOMPAS
Kolom Komentar post