RIAU24JAM.COM – Dinamika perpolitikan di kawasan Asia Tenggara terus mengalami gejolak.
Gangguan stabilitas politik di Asia Tenggara bermula dari aksi kudeta oleh militer di Myanmar pada awal Februari 2021 lalu.
Militer Myanmar juga melakukan penahanan terhadap sejumlah pejabat tinggi sipil negara itu, salah satunya peraih nobel perdamaian Aung San Suu Kyi.
Aksi kudeta menimbulkan adanya unjuk rasa dari masyarakat Myanmar.
Unjuk rasa tersebut mendapatkan tindakan kekerasan dari pihak aparat keamanan.
Terbaru, Otoritas Malaysia memastikan tidak memasukkan pengungsi Rohingya yang teregistrasi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam rencana repatriasi 1.200 warga Myanmar.
Dalam pernyataannya pada Senin, 15 Februari 2021 malam, Direktur Jenderal Imigrasi Malaysia Khairul Dzaimee Daud mengatakan pemulangan warga Myanmar merupakan deportasi imigran biasa dengan menggunakan kapal Angkatan Laut Malaysia.
Dirinya mengatakan warga Myanmar yang terlibat dalam repatriasi tersebut terdiri dari mereka yang ditahan di depot imigrasi karena melakukan berbagai pelanggaran, termasuk tidak memiliki dokumen identitas, masa tinggal yang melebihi batas, dan penyalahgunaan izin kunjungan.
Khairul Dzaimee menyampaikan, selama periode pandemi Covid-19 dari Januari hingga Desember tahun lalu, Departemen Imigrasi telah mendeportasi total 37.038 imigran.
“Mereka terdiri dari 17.002 orang Indonesia; Bangladesh (5.450 orang); Myanmar (3.322); Thailand (2.358), Pakistan (1.493) dan sisanya dari negara lain,” ujarnya seperti dikutip oleh Pikiran-Rakyat.com dari Anadolu Agency.
Sementara itu, Gabungan ormas Malaysia meminta otoritas negara itu untuk mempertimbangkan rencana pemulangan pengungsi Rohingya ke Myanmar.
Presiden Majelis Musyawarah Ormas Islam Malaysia (MAPIM) Mohd Azmi Abdul Hamid mengatakan deportasi terhadap Rohingya di tengah kudeta tentara Myanmar menciptakan kondisi yang tidak aman bagi para pengungsi.
“Nasib mereka tidak hanya tidak pasti dan tidak aman ketika tentara Myanmar kembali berkuasa, tetapi mereka akan dihadapkan pada ancaman yang mengancam jiwa karena situasi yang semakin tegang di Myanmar,” ucap Mohd Azmi dalam pernyataannya.
Mohd Azmi menyampaikan dalam mengatasi masalah imigran gelap di Malaysia, perlu memperhatikan faktor keselamatan jiwa sebab Rohingya yang melarikan diri karena adanya ancaman serangan militer di Myanmar.
Pemerintah Malaysia sendiri, menurutnya telah lama menyampaikan tirani pembersihan etnis Rohingya merupakan kejahatan kemanusiaan oleh militer dan nasionalis fanatik Buddha di Myanmar.
“Oleh karena itu, mengirim mereka pulang secara paksa ke Myanmar, yang tidak menunjukkan tanda-tanda keselamatan mereka, adalah tidak konsisten dan sesuai dengan ketentuan aslinya,” tutur Mohd Azmi.
Sumber : PikiranRakyat
Kolom Komentar post