RIAU24JAM.COM – Anak-anak yang diadopsi dari Indonesia pada era 1980-an menyebut permintaan maaf pemerintah Belanda atas pelanggaran serius dalam proses adopsi mereka merupakan suatu “kemenangan”, namun langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah Belanda adalah membantu mereka mencari orang tua kandungnya.
Hasil investigasi selama dua tahun yang dilakukan komite khusus di Belanda dan dirilis Senin (08/02) menemukan adanya “pelanggaran serius” dalam proses adopsi anak-anak dari Indonesia, Bangladesh, Brasil, Kolombia, dan Sri Lanka pada periode 1967 hingga 1997.
Pelanggaran serius itu antara lain: penculikan dan perdagangan anak, pemalsuan dan pencurian dokumen, serta pemindahan anak angkat dengan alasan palsu. Pelanggaran-pelanggaran ini membuat mereka yang diadopsi kesulitan mencari orang tua kandungnya.
“Pelanggaran serius” dalam proses adopsi anak tersebut mendorong Menteri Perlindungan Hukum Belanda, Sander Dekker, meminta maaf.
“Ini seperti rollercoaster secara emosional! Pemerintah meminta maaf. Itu benar-benar keluar dari mulutnya, dari menteri. Ini sebuah kemenangan,” tutur salah satu warga Belanda yang diadopsi dari Indonesia, Dewi Deijle, kepada wartawan BBC News Indonesia, Senin (08/02).
Dewi Deilje adalah warga Belanda yang diadopsi dari Indonesia pada 1980. Ia mewakili Yayasan Mijn Roots, sebuah wadah bagi mereka yang diadopsi dari Indonesia dan mencari orang tua kandung mereka.
Akan tetapi, Widya Astuti Boerma, yang juga diadopsi dari Indonesia menyebut permintaan maaf adalah “langkah pertama”. Langkah selanjutnya ialah membantu mereka yang diadopsi mencari orang tua kandung mereka.
“Banyak anak adopsi mengalami ‘kerugian mental’ karena semua ini, tidak tahu dari mana asalnya. Saya rasa jika anak-anak hasil adopsi ingin mencari keluarga kandungnya, pemerintah harus bisa berusaha membantu mereka,” ujar Widya.
Merujuk data Yayasan Mijn Roots, sekitar 3.000 anak dari Indonesia diadopsi oleh keluarga Belanda pada 1973-1983, sebagian dari mereka diduga diadopsi secara ilegal.
Kini, 40 tahun setelah diadopsi, mereka mengalami kesulitan mencari orang tua kandungnya sebab banyak informasi dalam dokumen itu ternyata palsu.
‘Saya merasa seperti kembali ke titik awal pencarian’
Widya Astuti Boerma masih merasa terpukul dengan kabar buruk yang diterimanya pekan lalu, ketika hasil tes DNA kedua dengan perempuan Indonesia yang ia anggap kemungkinan ibu kandungnya, menunjukkan keduanya tak memiliki hubungan darah.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi dan saya tidak ingin berspekulasi, karena bagi saya itu adalah misteri besar dan pada titik ini bahkan lebih rumit daripada ketika saya memulai seluruh pencarian. Saya tidak bisa berkata-kata lagi,” tutur Widya pada Sabtu (06/02).
Ia adalah salah satu perempuan berdarah Indonesia yang diadopsi warga Belanda pada 1979 ketika ia masih balita. Selama 41 tahun terakhir, ia harus menempuh jalan berliku demi mencari ibu kandungnya.
Sebuah utas di Twitter yang mengungkap kisah pencarian Widya sempat viral pada pertengahan Juni tahun lalu, yang berujung pada sejumlah petunjuk terkait perempuan yang diduga sebagai ibu kandungnya.
Kepada BBC News Indonesia ia menuturkan bahwa pada 1991, ketika ia kala itu masih remaja berkunjung ke panti asuhan Kasih Bunda yang menjadi perantara proses adopsinya.
Pihak panti asuhan mengaku telah memalsukan surat kelahirannya karena tanpa surat kelahiran maka adopsi tidak bisa dilakukan.
Pada saat yang sama ia sempat dipertemukan oleh perempuan yang disebut sebagai ibu kandungnya, namun Widya mengaku tak memiliki koneksi dengan ‘sang ibu’.
Ketika dewasa, baru ia mengetahui ternyata perempuan tersebut disewa oleh panti asuhan untuk berperan menjadi ibu kandungnya.
Ketika kisah pencariannya viral, seorang warganet menyampaikan kepada Widya bahwa kisahnya serupa dengan cerita ibunya, yang berulang kali menuturkan kisah tentang putrinya dari suami sebelumnya yang hilang saat ia titipkan ketika selama bekerja.
Widya kemudian menindaklanjutinya dengan berkomunikasi dengan perempuan itu. Lantaran perbedaan bahasa, percakapan keduanya terjalin via aplikasi penerjemah Google Translate.
Awalnya Widya sempat merasa ragu, sebab sebelumnya ia pernah berhadapan dengan ‘ibu palsu’. Namun kemudian, ia merasa keduanya memiliki kisah yang serupa satu sama lain.
“Saya mendengar kisahnya lebih banyak dan saya menyadari itu hampir seperti cerita yang saya miliki, dan yang paling menakutkan adalah ia dapat mengisi banyak detil yang hampir sesuai dengan kenangan saya,” tutur Widya.
Keduanya lantas sepakat untuk menjalani tes DNA pada Oktober tahun lalu. Sayangnya, tes itu menunjukkan DNA keduanya tidak cocok.
“Saya mendapat pemberitahuan yang mengatakan bahwa kami mungkin bukan ibu dan anak. Saya benar-benar bingung dan cukup terkejut dengan hasil ini karena saya hampir yakin tentangnya (hasil itu),” ujar perempuan yang tinggal di Den Haag ini.
“Jadi saya merasa seperti hampir kembali ke titik awal [pencarian] dan saya benar-benar bertanya-tanya, bagaimana ini mungkin terjadi? Karena cerita kami sangat cocok dan saya merasa saya benar-benar yakin, jadi itu hal sulit saya pahami,” imbuhnya.
Widya yang mengaku tak puas dengan hasil tes itu, lalu melakukan tes DNA ulang dan hasilnya yang keluar pada awal bulan ini memastikan bahwa keduanya tiada hubungan darah.
“Ini adalah kenyataan yang sulit untuk dihadapi bahwa saya mungkin ‘ditipu dua kali’,” akunya.
‘Nama-nama orang tua kandung saya ternyata palsu’
Perjuangan mencari ibu kandung juga dialami oleh Herlina, yang diadopsi oleh keluarga Belanda pada 1980 ketika dirinya masih bayi.
Kepada BBC News Indonesia, perempuan yang tinggal di Utrecht ini menuturkan bahwa kelahiran anak kembarnya pada 2013 membuatnya mempertanyakan jati diri. Tak lama kemudian, pencarian orang tua kandungnya dimulai.
Dalam surat keterangan kelahiran, Herlina lahir pada 9 Desember 1979 di Klinik Bersalin Pembina Cideng yang berlokasi di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Dalam dokumen itu, ia disebut lahir dari orang tua bernama Nurhayati dan Joric yang beralamat di Jelambar, Jakarta Barat.
Berbekal detil informasi dari surat kelahiran itu, ia dibantu oleh Yayasan Mijn Roots untuk menelusuri keberadaan orang tuanya.
“Mereka mengatakan bahwa mereka tidak dapat menemukan orang tua saya karena tidak dapat menemukan alamat yang tertera di dokumen saya dan mereka juga menduga bahwa nama-nama orang tua kandung saya palsu,” jelasnya kemudian.
Ia mengatakan ada kemungkinan nama Nurhayati dan Joric palsu, sebab Joric bukanlah nama umum di Indonesia. Sedangkan dari dokumen notaris ia mendapati kenyataan bahwa ia lahir di luar pernikahan.
Hingga kini, pencarian Herlina mengalami kebuntuan.
“Saya tidak pernah menyangka akan mendapat kesulitan yang saya alami sekarang, karena jelas informasi di dokumen saya tidak benar. Karena kalau benar, saya akan menemukan orang tua kandung saya,” katanya.
“Jadi, saya benar-benar bertanya-tanya ada apa di balik semua ini? Tidak ada yang bisa memastikan sekarang bahwa informasi itu salah atau benar.”
“Itu membuat saya kesulitan karena saya tidak tahu harus mulai mencari dari mana karena saya tidak tahu apakah nama itu asli atau tidak dan apakah saya harus mencari nama-nama ini, atau jika itu nama palsu, maka saya semestinya mencari di tempat lain, tapi saya tidak tahu di mana,” ungkapnya dengan nada gusar.
Herlina menambahkan, agen adopsi di Belanda yang bertanggung jawab atas adopsinya bernama ‘Stichting Kind en Toekomst’ yang hingga kini masih aktif dalam bisnis adopsi.
Ia menjelaskan sejak 2016 kami telah berkali-kali mencoba menghubungi agen adopsi itu dan meminta mereka untuk merilis dokumen lengkap yang mereka miliki tentang proses adopsinya.
“Mereka hanya mengatakan bahwa mereka tidak memiliki dokumen dan mereka menyatakan, tanpa empati, bahwa mereka tidak dapat membantu saya dengan cara apa pun dalam pencarian saya,” kata Herlina.
“Bagi saya jelas bahwa mereka tidak jujur dan hanya berusaha menghindari tanggung jawab hukum atau moral, karena mereka selalu tahu tentang ilegalitas dan terlibat,” cetusnya.
Panti asuhan dibubarkan karena terlibat perdagangan anak
Kebanyakan dari mereka yang mencari orang tua kandung menyewa penyelidik yang ditugasi untuk melacak keberadaan orang tua kandung mereka. Salah satu dari penyelidik itu adalah Polly Tehupuring.
Polly yang sejak tiga tahun lalu membantu anak-anak adopsi ini mencari ibu kandungnya mengaku memiliki banyak cerita pencarian yang menurutnya, “lebih banyak cerita sedihnya”.
Ia menceritakan pengalamannya membantu pencarian ibu kandung seorang perempuan yang ketika kecil diadopsi oleh warga negara Belanda.
Pencarian itu membawa Polly ke pantai utara Madura, tempat ibu yang diduga sebagai orang tua kandung perempuan itu kini tinggal.
Namun, setelah dilakukan tes, DNA keduanya tidak cocok.
“Berarti ibu itu bukan ibu kandungnya. Padahal ibu kandungnya itu cerita ke saya dia melahirkan dan memberikan nama itu kepada anaknya itu,” tutur Polly.
Setelah ditelisik, kata Polly, ternyata di klinik bersalin tempat ibu tersebut melahirkan ada perempuan lain yang melahirkan tiga hari kemudian.
Polly menuturkan kedua bayi itu dititipkan ke klinik bersalin sebab ibu mereka pada saat itu bekerja sebagai pekerja seks komersial.
Polly menuturkan, oleh seorang perantara, bayi mereka dibawa ke panti asuhan yang sama, yakni Panti Asuhan Anak Sejahtera di Jawa Timur.
“Jadi kemungkinan di panti asuhan itu bayinya tertukar karena sama-sama diberikan nama yang sama,” kata Polly.
“Sudah menemukan, data cocok, tapi begitu DNA dicek ternyata tidak cocok. Jadi, ternyata ada dua ibu melahirkan beda tiga hari dan memberikan nama yang sama kepada bayinya kemudian ditampung di panti asuhan yang sama,” jelasnya kemudian.
Ia menambahkan dari 3.000 bayi yang diadopsi warga negara Belanda pada medio 1973-1983, sekitar 200 bayi diadopsi dari sebuah panti asuhan di Sukorejo, Pasuruan, Jawa Timur yang saat ini sudah tidak beroperasi lagi.
“Itu bukan bubar sendiri, memang dibubarkan oleh pemerintah karena melakukan perdagangan, indikasi perdagangan [anak],” kata Polly.
“Banyak kejadian, surat-suratnya dipalsukan. Jadi ada anak yang diadopsi di Jakarta tapi surat-suratnya dibuat setelah tanggal kedatangan di Jakarta,” kata dia.
‘Bayi ditukar dan informasi palsu’
Dugaan adopsi ilegal diperkuat oleh Ana van Valen, pendiri Yayasan Mijn Roots, yang membantu anak-anak hasil adopsi keluarga Belanda menemukan orang tua kandung mereka.
Ana menuturkan, pada kasus-kasus tertentu ditemukan nama ibu yang tertera dalam surat adopsi juga tertera di surat adopsi atas nama anak yang lain.
“Kami juga mendapat kasus di mana informasi yang tertera sudah benar, namun ketika dilakukan tes DNA, tidak cocok. Kami menduga bayi itu ditukar atau informasi yang diberikan tidak benar,” jelasnya.
Ia menambahkan sebagian besar anak-anak yang diadopsi berasal dari klinik dan panti asuhan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta.
Di Jawa Timur, anak-anak yang diadopsi berasal dari berbagai daerah seperti Sukarejo di Pasuruan, Malang, Mojokerto, Blitar, Trenggalek, Jombang, Kediri, Pacitan dan Tulungagung.
Dari Jawa Tengah, kebanyakan anak-anak diadopsi berasal dari Tegal, Magelang, Pekalongan dan Pemalang.
Sementara anak-anak dari Jawa Barat kebanyakan berasal dari Cirebon, Karawang, Bandung, Bogor, dan Sukabumi.
Halaman Facebook Yayasan Mijn Roots ramai dengan unggahan pengguna yang mencari orang tua kandung mereka.
Dalam laporan bertajuk Adopties uit Indonesie yang disusun oleh sebuah organisasi yang berbasis di Belanda, Wereldkinderen, terungkap bahwa sejak 1973 hingga 1984 ada 3.072 anak Indonesia yang di adopsi oleh warga Belanda.
Puncak adopsi itu terjadi pada medio tahun 1979-1981.
Siapa saja yang terlibat?
Merujuk laporan tersebut, sebelum 1989, belum ada ketentuan tentang organisasi atau perantara yang mengatur proses adopsi anak-anak Indonesia ke Belanda. Sehingga, kala itu banyak organisasi dan yayasan kecil yang menjadi perantara proses adopsi.
Pada periode tersebut, salah satu organisasi di Belanda yang mempunyai izin untuk proses adopsi adalah Bureau Interlandelijke Adoptie (BIA).
Pada 1975, BIA merger dengan dua organisasi lain, yakni Stichting Interlandelijke Adoptie (SIA) dan Nederlands Vereniging voor Pleeggezinnen (NVP).
Melalui BIA, ada 1.788 anak Indonesia yang diadopsi ke Belanda pada era 1970-an. BIA menghentikan adopsi pada 1981 karena menurut mereka, “ada banyak perantara yang tidak bisa dipercaya”.
Selain BIA ada juga Buitenlandse Adoptie Noord Nederland (BANND) yang didirikan oleh pasangan suami isteri yang tinggal di Groningen dan hanya menangani proses adopsi untuk kawasan Belanda utara.
BANDD termasuk organisasi perantara adopsi tertua yang didirikan pada 1973. Tahun 1995 mereka tak lagi beroperasi namun divisi yang bernama “projecthulp” masih ada.
Antara 1973 hingga 1983, ada sekitar 100 anak diadopsi melalui Yayasan Pa van der Steur di Jakarta yang bekerja sama dengan Yayasan Melati di Belanda.
Sebanyak 600 anak lainnya diadopsi melalui Yayasan Bina Sejahtera, yang juga merupakan panti asuhan. Yayasan ini sebelumnya bernama Yayasan Kasih Bunda.
Ada banyak yayasan lain di Indonesia yang melakukan proses adopsi, seperti Sayap Ibu di Jakarta. Yayasan ini resmi dan mendapat izin pengadilan untuk jadi perantara adopsi anak ke Belanda.
Tapi pada periode itu, muncul banyak kritik dari pemerintah Belanda maupun Indonesia terkait proses adopsi yang disebut “terjadi kekurangan data, penyalahgunaan dana dan perantara yang tidak bisa dipercaya”.
Setelah terjadi banyak kejanggalan, Indonesia memperketat hukum soal adopsi pada 1983 dan menutup adopsi ke Belanda pada 1 Januari 1984.
Kasus ‘peternakan bayi’ dan penculikan anak
Penutupan proses adopsi ini, merujuk laporan tersebut, disebabkan adanya sejumlah praktik terlarang, seperti penyalahgunaan dana dan rumor terkait apa yang disebut sebagai ‘peternakan bayi’ (baby farming) dan penculikan anak-anak untuk adopsi.
Laporan itu mengungkap pada tahun 1980, polisi Indonesia menangkap seorang bidan bernama Sur, setelah di lantai atas rumahnya ditemukan 18 bayi yang siap untuk diadopsi ke Belanda.
Merujuk pengakuan Sur, bayi-bayi itu akan dijual senilai 1000 gulden per bayi. Padahal, orang tua kandung mereka hanya menerima 150-200 gulden.
Dalam kasus lain, pemerintah Indonesia sempat menghentikan sementara adopsi ke Belanda pada 1980 setelah sepasang suami istri dari Friesland di Belanda utara mengadopsi seorang anak dari Indonesia bernama Kurniawati.
Adopsi Kurniawati diketahui ilegal setelah ayah kandungnya melaporkan bahwa putrinya yang berusia empat tahun itu diculik pada 1 September 1980 ketika bermain di depan rumahnya.
Imbas dari kejadian ini, Yayasan Kasih Bunda di Yogyakarta yang menjadi perantara adopsi dinyatakan ilegal karena tidak memproses dokumen-dokumennya secara legal.
Kepala yayasan ini kemudian dipenjara atas kasus pemalsuan dokumen dan penculikan.
Akibat dari proses adopsi dengan dokumen yang tidak resmi, anak-anak yang diadopsi ke Belanda melalui yayasan ini kesulitan mencari orang tua kandungnya ketika dewasa, sebab data yang diberikan yayasan ini tidak benar dan dipalsukan.
‘Pemerintah Belanda tahu tapi tidak peduli’
Kepada BBC News Indonesia, Ana van Valen yang mengaku diadopsi oleh pasangan Belanda sejak berusia 2,5 tahun mengungkap bahwa ia berasal dari panti asuhan yang sama dengan Widya.
Namun, nasibnya mujur sebab identitas orang tua yang tertera di surat adopsinya adalah informasi yang tepat sehingga ia berhasil bertemu dengan ibu kandungnya ketika ia berusia 18 tahun.
Akan tetapi, Dewi Deijle, yang sama seperti Widya dan Ana berasal dari panti asuhan Kasih Bunda, hingga kini masih kesulitan mencari orang tua kandungnya.
Pelacakan yang ia lakukan mengindikasikan kuat dugaan bahwa “pemerintah Belanda tahu tentang praktik terlarang” berkaitan dengan adopsi anak dari Indonesia.
Sebab, pada 1983, Indonesia menghentikan adopsi anak ke luar negeri setelah ditemukan sejumlah kasus adopsi ilegal yang melibatkan panti asuhan, klinik bersalin dan bidan. Mereka kemudian diproses hukum atas kasus itu.
“Pemerintah Belanda mengetahui hal ini tapi mereka tak peduli. Mereka beralasan bahwa hal itu terjadi di Indonesia jadi mereka merasa tidak berkaitan dengan itu,” tegas Dewi.
“Namun hasil dari itu, kami tidak bisa menemukan orang tua kandung kami karena dokumennya palsu atau mereka berbohong ke orang tua kandung, sebab banyak dari mereka tak mau memberikan bayinya,” terangnya kemudian.
Ia menyayangkan walau pemerintah Belanda mengetahui hal ini, namun tidak melakukan langkah-langkah untuk mencegah praktik-praktik terlarang tersebut.
Dewi berencana untuk melayangkan gugatan terhadap pemerintah Belanda, menuntut kompensasi finansial atas pencarian orang tua kandungnya.
“Apa yang saya inginkan dari pemerintah [adalah] jika Anda ingin mencari keluarga kandung di Indonesia, itu membutuhkan biaya. Para anak angkat harus membayar sendiri,” terang Dewi.
“Saya pikir [apa yang saya inginkan dari] pemerintah adalah pengakuan bahwa mereka melakukan kesalahan dalam semua prosedur ini karena membiarkan anak-anak ini datang dengan dokumen palsu.”
“Tapi saya pikir baik juga bagi pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada para anak angkat jika mereka ingin menemukan orang tua kandung mereka,” ujarnya lebih lanjut.
Ia dan sejumlah anak-anak lain yang diadopsi dari Indonesia berencana melayangkan gugatan pada April mendatang.
“Anak-anak yang diadopsi dari Indonesia sedang mempersiapkan gugatan seperti semua anak adopsi di Belanda. Ini lebih seperti tindakan kolektif dan kami juga memiliki beberapa kasus individu, seperti kasus saya, karena saya tahu bahwa dokumen saya palsu,”
“Sekarang tunggu dan lihat bagaimana kementerian menanggapi laporan tersebut, kemudian kami akan memutuskan apakah gugatan masih diperlukan,” imbuhnya.
Hal serupa terjadi pada anak-anak dari Brasil dan Sri Lanka
Sebelum gugatan yang akan dilayangkan oleh Dewi dan anak-anak yang diadopsi dari Indonesia lainnya, pemerintah Belanda telah beberapa kali digugat oleh sejumlah warganya yang diadopsi dari berbagai negara.
Patrick Noordoven mengugat pemerintah Belanda agar memberinya hak kebebasan informasi untuk mengetahui jati dirinya.
Melalui proses hukum itu, Noordoven mendapat fakta bahwa ia dipastikan diadopsi secara ilegal dari Brasil ketika masih bayi pada 1980.
Kasus Noordoven inilah yang memicu pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi yang bertujuan mengusut keterlibatan pejabat pemerintah dalam sejumlah kasus adopsi anak secara ilegal selama dekade dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kasus Noordoven diikuti oleh kasus-kasus dugaan adopsi ilegal lainnya, seperti yang dialami Dilani Butink, perempuan berdarah Sri Lanka berusia 28 tahun yang diadopsi oleh pasangan Belanda pada 1998.
Pada 2020, ia mengajukan banding terhadap pemerintah Belanda dan Stichting Kind en Toekomst yang memproses adopsinya. Yayasan tersebut juga memproses proses adopsi Herlina dari Indonesia.
Dua tahun sebelumnya, Butink meminta pertanggungjawaban kepada kedua pihak tersebut atas penderitaan yang ditimbulkan dari proses adopsi yang ilegal.
Pada September 2020, hakim memutuskan kasusnya telah kadaluwarsa, sebab peristiwa tersebut terjadi hampir 20 tahun lalu dan pemerintah Belanda dinyatakan tidak bersalah.
Jauh sebelumnya, kepolisian Belanda ternyata sempat menyelidiki kasus-kasus semacam ini pada awal 1980-an dan menemukan 42 contoh “tindak pidana”.
Namun sayangnya, kasus-kasus ini tidak ditindaklanjuti, tanpa info yang jelas apa penyebabnya.
Sejak 1970-an, lebih dari 40.000 anak telah diadopsi dari luar negeri ke Belanda, menurut laporan Zembla.
Kebanyakan dari mereka diadopsi dengan surat kelahiran palsu, anak-anak yang diambil dari klinik bersalin dan sebagian dari mereka merupakan hasil dari ‘peternakan bayi’.
‘Penyimpangan serius’ di Swiss
Menyusul investigasi yang dilakukan Belanda, pemerintah Swiss juga menggulirkan investigasi serupa pada akhir 2020 lalu terkait kemungkinan adanya praktik adopsi ilegal anak-anak dari luar negeri.
Upaya ini dilakukan menyusul indikasi “penyimpangan serius” pada proses adopsi anak dari Sri Lanka ke negara itu.
“Kami menyadari dan menyesal bahwa pihak berwenang Swiss gagal mencegah adopsi dari Sri Lanka hingga 1990-an, padahal ada indikasi kuat, pada beberapa kasus, penyimpangan serius,” kata pemerintah Swiss dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari kantor berita Reuters.
Sebuah studi yang dirilis awal 2020 oleh Universitas Ilmu Pengetahuan Terapan Zurich (ZHAW) atas permintaan pemerintah menemukan bahwa otoritas Swiss menyetujui masuknya 950 anak dari Sri Lanka antara tahun 1973 hingga 1997.
Pemerintah Swiss kemudian menyelidiki kemungkinan adanya praktik adopsi ilegal, menyusul kekhawatiran yang diajukan oleh anggota parlemen Swiss pada 2017 bahwa beberapa anak yang diadopsi “dicuri atau dijual” sebelum tiba di Swiss.
Sumber : bbc
Kolom Komentar post